Berbicara
mengenai cinta, tentu setiap manusia mempunyai sebuah cinta. Entah cinta
apapun. Setiap manusia yang hidup pasti mempunyai perbedaan dalam menafsirkan
sebuah cinta. Isna Nurul, siswa kelas tiga jurusan keagamaan menafsirkan cinta
dari segi keagamaan yakni cinta adalah cinta kepada Allah dengan mentaati
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan ikhlas dan ridha
terhadap ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW serta selalu berhusnudzon
dengan-Nya. Nurazizah Fitriyani Nahri mahasiswi semester dua jurusan kimia menafsirkan
cinta dari segi kimia yakni sebuah rasa yang didalamnya mengalir jutaan volt
elektron, dan sangat indah untuk dirasakan. Arief Dessy Nurhidayat menafsirkan
bahwa cinta itu tersusun dr beberapa elemen yg padu dan
tidak boleh terbalik sehingga hasilnya sangat estetis. Contoh penafsiran cinta
tersebut tentunya sesuai dengan profesi mereka.
Seseorang bisa mengekspresikan cinta
yang ia punyai melalui sebuah puisi. Seperti Abdul Wachid B.S, penyair yang
menuliskan perasaannya melalu puisi. Puisi-puisnya banyak berkisah tentang
sebuah cinta. Kecintaan terhadap pasangannya, teman sejawatnya, anaknya serta
tak lupa olehnya yakni cinta terhadap sang pemberi hidup, Tuhan. Dalam sajak-sajaknya
yang terkumpul dalam antologi puisi Kepayang, penyair mempunyai
ciri khas dalam penggunaan kata “yang”. Sajak-sajak yang terkumpul dalam antologi
puisi Kepayang ini banyak berbicara tentang hakikat sebuah cinta, tetapi
ada beberapa sajak yang berkisah tentang peristiwa yang dialami oleh penyair. Penyair
menggunakan bahasa dan diksi-diksi yang bisa melenakan dan membuat pembaca meraba-raba
makna dari setiap bait yang penyair tuliskan, tapi juga ada beberapa pembaca
yang bisa memahami apa yang penyair tuliskan. Ada juga yang bingung menangkap
pesan dari puisi yang penyair tuliskan. Begitulah, seorang Abdul Wachid B.S
meramu sajak-sajaknya dengan bahasa-bahasa yang indah, intonasi dan iramanya
bernada. Beberapa sajak juga ada yang berisi pesan spiritualitas, untuk
menjelaskan bahwa penyair itu dekat dengan Tuhan dan menjadi baik dan
sebenarnya. Disitulah kenikmatan puisi dari seorang Abdul Wachid BS.
Arti Kepayang dalam kamus
besar bahasa Indonesia offline 1.5.1 adalah pohon, bijinya memabukkan; Pangium edule;
atau bisa juga berarti biji kepayang.
Perhatikan
puisi-puisi berikut ini:
Doa
Pecinta
ya
Allah
kemiskinan
ada di sekitar saya
tetapi
mengapa sajak-sajakku hanya
berkisah
tentang cinta
Mu
saja?
Yogyakarta,
15 Juli 2012
Berdasar judul
puisi di atas, pecinta memiliki arti orang yang mencinta(i) dan pada baris
pertama / ya Allah/ yakni penyair sedang berbicara pada sang pencipta.
Lalu
pada baris kedua / kemiskinan ada di sekitar saya/ kata kemiskinan memiliki
arti suatu keadaan tidak memiliki harta (miskin). Penjelasannya / ada di
sekitar saya/ menandakan seolah-olah "kemiskinan itu memiliki wujud
sehingga dapat dilihat oleh penyair. Dan kemiskinan yang dilihat oleh penyair
begitu banyak, dijelaskan pada kalimat / di sekitar saya/ yang artinya
mengelilingi, tentu jumlahnya lebih dari satu dan mungkin penyair berada di
tengah-tengah yang miskin.
Kata "berkisah" pada baris berikutnya / tetapi
mengapa sajak-sajakku hanya/ berkisah tentang cinta/ Mu saja?// Ditujukan untuk
sajak-sajak dari penyair "sajak-sajakku" memiliki arti bercerita, yg
hanya bisa dilakukan oleh manusia. Penyair menggambarkan sajak-sajaknya seolah
dapat bercerita atau berkisah seperti manusia. Akan tetapi baris tersebut
adalah sebuah pertanyaan, hal ini dipertegas dengan penggunaan kata
"mengapa" dan tanda tanya "?". Pada baris tersebut
pertanyaannya ditujukan kepada sang pencipta “Mu”.
Penyair ingin menanyakan mengapa sajak-sajaknya tidak terpengaruh
terhadap kemiskinan yang ada di sekitar penyair saat itu. Ada dua hal yg bisa
di jadikan maksud dari pertanyaan penyair:
- Penyair ingin bertanya apakah ia adalah "orang yg tidak peduli/ tidak peka" terehadap lingkungan sekitar.
- Ataukah ia adalah orang yang begitu besar cintanya kepada sang pencipta, sehingga keadaan lingkungan sekitar yang sedemikian parah sama sekali tidak mempengaruhi cintanya kepada sang pencipta.
Jatuh
Cinta Kepadamu
Jatuh
cinta kepadamu
Padang
ilalang merayakan kembang putihnya
Musim
kemarau tidak lagi bernyanyi parau
Lantaran
gerimis senja
Mengembalikan
sunyi kepada pagi:
Daun dan bunga bermahkota embun
Jatuh
cinta kepadamu
Tidak
terbilang jumlahnya
Kata-kata
menjadi harapan
Harapan
menjadi doa-doa yang tidak berkesudahan
Dari
pagi ke siang
Dari
siang ke senja
Dan
malam kian meluaskan pandangan
Bahwa
aku sedemikian kerdil
Untuk
memeluk semesta cintamu
Jatuh
cinta kepadamu
Seorang
lelaki menyediakan diri untuk
Disalibkan
dengan luka-luka rajam
Seorang
lelaki tetaplah melewati
Lorong-lorong
zaman sekalipun tahu
Remah-remah roti di kedua tangan kemuliaannya
Dibalas
dengan lemparan tai
Jatuh
cinta kepadamu
Seorang
lelaki yang bernyanyi di tengah malam
Berteriak-teriak
Memanggil-manggil
nama
Mu!
Solo,
7 Oktober 2011
Puisi
di atas, ada kerancauan, tersebab puisi ini bisa ditujukan kepada seseorang
biasa. Soalanya pada baris pertama / Jatuh cinta kepadmu/-mu di sini ditulis
menggunakan huruf kecil. Tapi pada akhir puisi kata / Mu!/ ditulis dengan huruf
capital jadi bisa saja puisi ini ditujukan kepada Tuhan.
Baris kedua, /Padang ilalang merayakan kembang
putihnya/, kata “merayakan” ditujukan kepada ilalang yang jumlahnya
banyak, penyair menggambarkan padang ilalang dapat berpesta dalam perayaan seperti
manusia dalam menyambut “kembang putihnya” datang dan atau muncul.
Baris ketiga, / Musim kemarau tidak lagi bernyanyi parau/, yang
tidak lagi “bernyanyi parau” di
sini penyair menggambarkan bahwa musim kemarau dapat bernyanyi layaknya
manusia. Tetapi ia tidak dapat bernyanyi lagi karena telah datang musim hujan
(gerimis) yang diperjelas pada baris keempat yakni / Lantaran gerimis senja //.
Gerimis
senja pada baris keempat dilanjutkan dengan baris selanjutnya / Mengembalikan
sunyi kepada pagi:/ Daun dan bunga bermahkota embun// Kata “mengembalikan
sunyi kepada pagi”, sunyi dapat bermakna damai atau kedamaian karena di sambung
dengan kata pagi yg dapat memperkuat hal itu, kedamaian telah datang karena musim
hujan tiba. Daun dan bunga “bermahkota” embun menggambarkan kesejukkan
yg di terima oleh daun dan bunga karena musim hujan tiba. Hujan (gerimis) dapat
juga di artikan sebagai rahmat yg datang untuk daun dan bunga.
Baris
selanjutnya / Jatuh cinta kepadamu/ Tidak terbilang jumlahnya/ kata “Tidak
terbilang jumlahnya” mengambarkan cinta yang begitu banyak atau besar dari
penyair kepada ”mu” dalam puisi ini.
Baris selanjutnya adalah / Kata-kata menjadi harapan/
Harapan menjadi doa-doa yang tidak berkesudahan/ Kata “tidak berkesudahan” menggambarkan
sesuatu yang terus menerus tanpa putus, penyair ingin memberitahu bahwa ia
tidak henti-hentinya dalam berdoa dan beharap.
Pada baris selanjutnya /Dari pagi ke siang /Dari siang ke
senja /Dan malam kian meluaskan pandangan/ Bahwa aku sedemikian kerdil/ Untuk
memeluk semesta cintamu// Dan kata ”Dan malam kian meluaskan
pandangan” menggambarkan perubahan hari dari pagi sampai malam (seharian).
Pada kata /Bahwa aku sedemikian kerdil/ arti “kerdil” yang artinya kecil
atau sesuatu yg kecil. Pada baris selanjutnya /Untuk memeluk semesta cintamu//
menggambarkan keseluruhan cinta dari “mu” dalam puisi pada bait-bait tersebut.
Proses perubahan hari (dari pagi sampai malam) menyadarkan penyair bahwa ia
sangatlah kecil (kerdil) untuk peroleh seluruh cinta dari “mu” dalam
puisi ini. Atau dapat di artikan bahwa penyair merasa tidak atau belum pantas
mendapatkan seluruh cinta dari “mu” pada puisi ini.
Selanjutnya pada baris /Jatuh cinta kepadamu/ Seorang lelaki
menyediakan diri untuk/ Disalibkan dengan luka-luka rajam/ Seorang lelaki
tetaplah melewati/ Lorong-lorong zaman sekalipun tahu/ Remah-remah roti di
kedua tangan kemuliaannya/ Dibalas dengan lemparan tai//. Mengingatkan kita
pada kisah Nabi Isa as tentang cinta Nabi Isa as kepada-Nya. Jadi sebenarnya
kata “mu” dalam puisi ini ditujukan untuk sang pencipta. Hanya saja
rancunya pada puisi ini kata “mu” di sini penggunaan huruf (m)-nya kecil
bukan menggunakan huruf capital.
/
Jatuh cinta kepadamu/ Seorang lelaki
yang bernyanyi di tengah malam/ Berteriak-teriak/ Memanggil-manggil nama/
Mu!//. Kata “Seorang lelaki” yang bernyanyi di tengah malam” bisa jadi
ia adalah lelaki yg sama dengan lelaki pada bait sebelumnya yakni Nabi Isa as.
Akan tetapi bisa jadi lelaki pada bait ini adalah penyair itu sendiri. Di sini
ada pengaburan identitas, tidak petunjuk siapa lelaki pada bait ini. Berteriak-teriak/
Memanggil-manggil nama/ Mu!//, kata “berteriak-teriak” dan “memanggil-manggil”
ternyata berhubungan, yakni di satukan menjadi ia (lelaki) pada baris
sebelumnya memanggil sambil dan atau sampai berteriak-teriak. Ia memanggil nama
Tuhannya (namaMu) bisa diartikan juga ia (lelaki) yang berdoa kepada sang
pencipta di tengah malam.
·
Tidak ada komentar
Posting Komentar