Pengantar:
Alhamdulillah, enam puisi saya dimuat di Posmetro Prabu pada tanggal 26
Oktober. Setiap orang memiliki proses kreatif tersendiri. Dan setiap karya
memiliki sejarah tersendiri. Seperti enam puisiku ini. Lahir ketika pagi, ada
juga yang terlahir di kala langit menjingga dan juga pagi hari. Setiap orang
berhak berkarya. Pantas tidaknya karya, biarkan saja yang penting menulis.
Selamat menikmati.
Syair-syair sempat lahir dari rahimmu
Sebagian puisi, lainnya tak jadi
Aku belum penyair, dan ingin jadi
Penyair, jelasmu waktu itu
Aku hanya pemancing luka sebab ibumu telah tiada
Mengapa begitu? tanyaku
Karena dari luka-luka yang kukumpulkan, aku
belajar mencipta rasa karsa jadi kata
Hanya tiap purnama mereka jadi puisi
yang sempurna
Bayangkan, Nak! Usiaku telah beranjak tua
Tapi aku masih bukan siapa dan apa
Kecuali jadi bapak untukmu
Sebab itu, aku ingin terus memancing luka
di lautan sana
aku ingin mati meninggalkan karya
seperti Chairil Anwar, yang sajak-sajaknya
terus berdenyut di nadi banyak orang di
sepanjang zaman
Oktober, 2015
Menutup Pintu
Saat di mana kau menutup rapat pintumu tanpa malu
Lalu membidikkan peluru ke arahku dari balik jendela
Aku tak mati, kasih. Hanya
Sisa luka buatanmu itu yang
Terus menerus merajamku
Hingga tak berdaya lalu
Seolah mati
Sia-sia
Oktober,
2015
penampakan salah satu puisiku |
Sepiring Kerinduan
sepiring
kerinduan yang tersaji di atas meja mulai hambar
pemiliknya
lagi merana
kebingungan
yang panjang
tak menemu
jalan
aku mulai
tahu, ketika luka yang
tertawar di
atas piring kemarin malam
bikin
rinduku makin kering kerontang
seperti
tanah
tandus
kerinduan?
Hambar? Sepertinya
aku kudu
usaikan cerita tentang
kerinduan
serta
kesetiaan yang
selama ini
aku gambarkan
di atas
meja makan tiap pagi
hingga
malam.
2015
Sebuah Perpisahan di Sabtu Malam
sebuah
perpisahan, di sabtu malam
di bawah
kerlip lampu kota
mata kita saling
memandang
sedang
tanganmu, tanganku
menimang
bimbang
menimang
cemas
tubuhmu,
tubuhku tiba-tiba menyatu
dalam satu
pelukan utuh
setengah
detik, berlalu
lampu-lampu
kota dipadamkan
tubuhku-tubuhmu
dipisahkan
ada
ketakutan yang jadi
hingga pagi
ternyata
kau sudah di tengah jembatan masa depan
sedang aku
berjalan untuk pulang
2015
Sisa Kerinduan
Sementara
sisa kerinduan itu mengampas umpama
Kopi panas
yang disruput tiap pagi
Sedang
gelasnya adalah
Kesetiaan
Menunggu
yang dirindukan lekas
Pulang.
Meski tak
tahu kapan.
2015
Sang Jenderal
Jenderal
berdiri tenang di dekat Tuhan
Dengan
penuh
Senang,
kenang
Kami
berkunjung di makam
Tepat di
museum kesayangan
Jenderal
tersenyum, dengan balutan baju khasnya
Kami
mengaku
Perjuangan
dan semangatnya perlu ditiru
Sebab ujung
dari nasib Negara serta bangsa
Adalah
tugasku, tugasmu
Jenderal
bersabda, jadi pemuda itu harus sadar dan tahu
Sadar kau
bernegara, berbangsa
Hidupkan
semangatmu
Jangan
sampai negaraku, negaramu
Dijajah
lagi
Oleh
musuh-musuh kaku
2015
Tidak ada komentar
Posting Komentar